 |
|
Pusing
Tiba-tiba aku ingat, aku pernah ada di kelas dua sekolah dasar
dulu. Rasanya aku begitu kecil dalam kelas yang cukup besar menurutku
waktu itu, yang setengah dindingnya ke bawah ditutup dengan batu
kali dan sedikit papan di atasnya, dan teralis kotak-kotak kecil
tempat sinar kecil-kecil masuk dan menuju bercak-bercak cahaya
di mejaku.
Aku delapan tahun waktu itu, temanku cukup banyak untuk orang,
maaf, anak yang baru delapan tahun hidup. Mereka semua sedang
berada dalam kelas yang sama, menulis huruf-huruf yang sama, hanya
saja tulisanku jauh lebih bagus dari mereka waktu itu, kata guruku,
yang kemudian ia pindahkan ke nilai-nilai di buku laporan sekolah
tiap kuartal. Aku cukup bangga, meskipun aku tak tahu apa artinya
itu dan bagaimana itu bisa mempengaruhi hidupku untuk beberapa
tahun setelahnya. Dan beberapa tahun setelahnya lagi.
Temanku yang duduk di paling depan, pojok sebelah kiri itu, Leni
namanya. Dia duduk di depan karena kata guruku dia kecil, jadi
harus duduk di tempat yang tak terhalang anak-anak lain, termasuk
aku. Jadi di situlah dia duduk, menangis -- ya, dia punya kebiasaan
menangis -- tiap hari, dan mengeluh kepalanya pusing.
Bagiku suatu rutinitas dan sedikit kewajiban untuk menontonnya
tiap hari menangis di situ. Aku duduk persis di belakangnya.
Sampai suatu saat aku merasa ingin, ingin sekali jadi seperti
dia. Bayangkan, begitu dia menangis, semua orang langsung melihat
ke dia. Semua orang, ya, semua orang, menghentikan pekerjaan mereka
untuk melihat ke Leni, sedang apa dia, kenapa dia menangis. Dan
biasanya Leni selalu menjawab,
"Pusing, bu ..." dengan lemahnya, sampai aku kasihan, selalu, dan
merasa ingin membagi makanan bekalku dengannya.
Aku ingin seperti dia.
Berhari-hari kupikirkan di rumah, kudiskusikan dengan boneka-bonekaku,
bagaimana seharusnya aku melakukan yang dilakukan Leni : menarik
perhatian sekian banyak orang, sampai-sampai orang dewasa juga.
Salah satu bonekaku ada juga yang bernama Leni, dan tentu saja
ia tidak boleh ikut dalam diskusi mengenai apa yang biasa dia
lakukan. Lagipula dia agak pendiam dan tidak enak diajak ngobrol.
Tiap kali makan malam, aku mulai coba memperhatikan orang-orang
dewasa yang ada di rumahku, mencoba menerka apakah mereka bisa
dan pernah melakukan apa yang dikerjakan Leni. Tapi tidak, Leni
tetap tidak pernah terkalahkan.
"Pa, Papa pernah menangis ?"
Papa hanya bilang pernah dengan senyum, tapi tidak menjelaskan.
Dari situ aku pikir, dia pasti bohong. Atau kalau tidak bohong,
pasti dia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Dia tidak sehebat
Leni. Begitu pula Mama. Aku pernah melihat mata Mama berair sekali,
tapi aku tak tahu apakah dia menangis. Dan itu juga tidak di hadapan
orang-orang.
Leni yang hebat.
Suatu hari, pada saat aku sedang menulis huruf-huruf yang sama
dengan teman-temanku di kelas itu, tiba-tiba hidungku sesak sekali.
Mataku mulai berair. Pada saat itu aku belum berpikir apa-apa,
sampai tiba-tiba Leni mulai menelungkupkan kepalanya di meja dan
menangis. Aku tertegun. Aku pikir, mestinya ini kesempatanku.
Tapi yang benar saja, masa aku harus tiba-tiba menelungkup dan
menangis setelah Leni melakukannya dengan keanggunan yang benar-benar
sempurna ? Tentu tidak. Maka aku tunggu.
Guruku datang ke tempat Leni dengan buru-buru (dan kebosanan yang
luar biasa, mungkin, aku pikir sekarang), dan dia mulai menghibur
Leni, dan menanyakan,
(aku pikir, aku harus melakukannya sekarang, sekarang juga, karena
perasaanku mengatakan itulah momen yang paling bagus, namun aku
ragu. Aku ragu-ragu terus mulai saat itu sepanjang hidupku)
"Pusing, bu ..."
Air mataku meleleh, setengah karena kasihan pada Leni, setengah
lebihnya karena mataku makin sakit. Rasanya ada yang menyumpal
di hidung, perih sekali, sampai akhirnya aku tak tahan lagi, dan
tanpa sadar aku mulai melipat tanganku di meja dan memiringkan
kepalaku ke kiri untuk ditumpui oleh kedua tangan di meja.
Posisi begitu merupakan penemuan terbesarku saat itu. Dalam posisi
inilah selanjutnya aku biasa tidur jika tidak ada apa-apa di ruangan
kecuali meja-meja dan kursi-kursi bercat hijau muda dengan lubang
berbentuk hati di bagian sandarannya, seperti dalam ruang kelas
satu itu.
~klei.
|
|
|
 |
first disk of klei is a collection of very old writings, all signed
"klei," with a last name I won't ever reveal. |
|