 |
|
Cinta
Perasaan ini membuat dahiku berkerut sepanjang malam, menarik
sudut luar mataku hingga ke batas terbawahnya. Meluapi dadaku
dengan sesuatu yang penuh tapi tak kelihatan. Membuat sesak. Membuat
hatiku selalu ingin menengadah ke Atas. Di situpun aku tak bisa
mendapat jawaban.
Lelaki bertemu Perempuan dan memeluknya tak pernah lepas. Tuhan
melingkupi Bumi seperti atmosfir yang tak terkupaskan. Tak ada
yang terucap, tak ada yang tersuarakan, segalanya saling lebur.
Tak ada yang bersentuhan. Tak ada indera yang ikut campur. Bagaimana
manusia bisa merasakan segalanya dengan jiwanya, tanpa badannya,
pertanyaan megah yang di Ataspun aku tak bisa mendapat jawaban.
Rasanya cinta itu rasional, tapi dia tidak logis. Tak tahu dari
mana asalnya, selain bahwa pernah pada suatu waktu di masa silam
sebuah kecelakaan kecil terjadi, dan meletup. Berhenti, tapi berlanjut.
Dan tak hanya itu, dia juga berkembang. Tapi tidak seperti bunga.
Lebih seperti jiwa yang makin dewasa. Yang memukuli badan dalam
perkembangannya, yang meninggalkan sakit dada melepuh lalu makin
dewasa. Aku, aku ingin bisa belajar terus, terus. Aku ingin sekali
tahu lebih banyak tentang dia. Bukan karena dia menyenangkan,
justru karena dia selalu secara pasif menyebutku bodoh, kecil,
bodoh, kecil, rendah. Bego.
Tanpa bergeming. Dia tetap pada tempatnya. Manusialah yang datang
dan pergi.
Lelaki bertemu Perempuan dan memeluknya tak pernah lepas. Tanpa
tangan, tanpa badan. Ketika kedua jasad insani menjauh, cinta
naik ke tingkat tertinggi, manusia dijadikan sadar adanya Dia
yang Besar, manusia dijadikan makhluk-makhluk dengan isi dada
yang tertarik ke depan, di tempatnya dia ada pada mulanya dijadikan
melompong.
Rasanya aku pernah mengalami saat-saat seperti ini, seperti semua
manusia pun pernah. Tidak ada penyesalan dalam penahanan diri,
hanya perasaan yang Besarnya tak terkatakan. Seluruh sel-sel dalam
jasad jadi hampa, sehampa makrokosmos, dan di dalamnya segala
yang kucinta melayang-layang. Aku melihat gerak putar bumi pada
porosnya dalam pemutaran gerak lambat seperti pada saat bola dipukul
masuk gawang lawan. Bintang jatuh dan aku sempat mengucap seribu
satu permintaan. Ketika dengan kukuh kakiku menempel di tanah,
sekaligus aku sanggup melihat awan dari muka bulan. Terperinci
dan jelas segalanya, dan masih tak bisa kupercaya bagaimana aku
bisa merasakannya. Memang, tak logis, dan rasanya mungkin hanya
rasional saja.
Rasa menang dan tak berdaya, rasa bahagia dan putus asa, rasa
damai dan ragu, rasa yakin dan tak punya masa depan. Kesekian
kalinya, adalah Cinta. Adalah cinta.
Upacara yang mulia, tiap saat dijadwalkanNya berlangsung.
Aku dibuatnya mabuk, lalu sadar. Lalu aku rasa aku punya sesuatu
yang tak lengkap di dalam. Selamanya. Tak terpuaskan, namun tercukupi.
Sisanya adalah damai. Air mengalir di pelupuk mata, dan air itu
tak pernah kelihatan. Jika aku boleh berkata gila, kukatakan bahwa
air itu udara dan udara itu air. Pada akhirnya, cinta tetap tak
ketahuan. Dia selalu ada. Manusia pun tiap pagi melewatinya. Dia
ada di ujung kaki saat kita tidur. Dan dia begitu baik, sehingga
kita tak akan pernah merasakan kehadirannya pada pagi-pagi yang
picisan itu. Dan dia begitu halus, seperti kain yang terbuat dari
embun pagi yang terkumpul pada pagi-pagi tertentu di mana semua
manusia berdoa pada saat yang bersamaan.
Tuhan begitu baik memberiku kesempatan merasakannya.
(Dia membuatku ingin menangis, Tuhan.)
(Lalu dia membuatku bingung mencari alasan tangisku, Tuhan.)
(Dia membuatku tersenyum, Tuhan.)
(Tuhan,)
(Aku tak pasti, tapi dia membuatku rajin berdoa dan mendoakan,
Tuhan.)
Meski tak selesai, Ia tahu, aku cinta.
Aku pernah cinta.
Bandung, 15 Februari 1994.
~klei.
|
|
|
 |
first disk of klei is a collection of very old writings, all signed
"klei," with a last name I won't ever reveal. |
|