contents

Sel Yang Besar Ini


Sore tadi angin ribut lewat di sebelah rumahku. Pohon kelapa yang ada di situ ambruk satu, akar-akarnya telanjang menatap awan yang berat dan ingin jatuh dari atas langit.

Di bawah pohon kelapa itu, sesungguhnya, sedang lewat seekor semut yang kesepian. Bau jalan kawannya sudah tak bisa tercium olehnya lagi, sehingga dalam gelap di siang bolong ia berjalan sendiri, menunggu mati. Tak mati pula ia ketika pohon itu jatuh. Tanpa tahu apa-apa, si semut jalan terus, hanya merasa bahwa ada rongga-rongga besar di sela daun dan batang pohon besar itu tiba-tiba menghalangi sedikit jalannya. Tanah sedikit berdebum, katanya, tapi tak masalah. Ini belum jadi hari kematiannya. Memalukan. Memalukan. Terlalu kecil ia, kata daun-daun pohon kelapa itu. Aku tak mampu membunuhnya, bahkan dengan segenap kekuatanku.

Semut kecil itu terus berjalan dan dengan satu injakan kaki anak kecil yang kebetulan lari, ia terlumat. "Mama," kata anak itu, "Ada semut mati," kata anak itu sedih, belum pernah membunuh sebelumnya.

Dalam film tentang adegan ini, kamera kemudian membubung jauh ke langit, di mana percikan api beribu-ribu volt sedang terjadi dengan dahsyat. Lalu turun kembali, dan terlihat aku di meja belajar, sedang menutup kupingku hanya dengan dua telunjuk. Setelah itu tenang lagi, dan aku meneruskan bacaan malamku. Kamarku tenteram. Hangat sangat. Lampu kuning yang nyaman, sangat merumah. Tempat tidur berselimutkan kain tebal dengan spons di dalamnya. Asal tahu saja, kalau aku tidur, selimut tempat tidur itu aku buka, dan di situlah lalu aku tidur dengan selimut tebal yang lain lagi.

Sangat mewah, pikir sesosok jiwa yang lewat, karena ia bisa berada di dua tempat sekaligus, dan selain kamarku, satunya lagi adalah balai kota dingin dan lembab, di mana seorang anak kecil berjualan korek api ingin tidur namun tak ada tempat, hanya saja di situ tak ada salju. Badannya kurus dan saat itu tergolek di atas anak tangga di pinggir kolam, tak bisa menggigil lagi karena otot-ototnya sudah kecapaian. Akan kujemput, kata jiwa itu, dan kuletakkan kau di tempat yang paling nyaman. Seperti surga. Dan untungnya itu memang surga.

Pagi-pagi aku bangun, mandi, lalu baca koran. Seorang anak kecil berjualan korek api mati kedinginan di Balai Kota. Tak menarik. Kapan pers mau mulai serius kalau berita seperti itu saja harus dimuat di koran, pikirku.

Jam tujuh pagi, aku harus pergi dan mulai kerja. Mobil kunyalakan, seketika CO naik ke atas. Satu butir Ozone hilang. Tak masalah. Aku paling-paling hanya hidup beberapa puluh tahun lagi saja. Dan aku tak punya anak. Di sekolah sebelah rumah, anak-anak kecil sedang senam pagi, gurunya dengan bersemangat memberi contoh di depan, begitu lugu. Di kampung sana orang tua si guru mengobrol dengan tetangganya, katanya anak saya akan naik pangkat bulan depan. Gajinya juga naik, jadi sekarang kami bisa tambah satu lauk lagi tiap hari. Pada saat yang sama aku lewat di depan restoran dan kulihat makanan sisa bertumpuk di depannya, dan kupikir, kapan bisa mengurai ? Sampah sejenis itu bisa membunuh orang banyak. Banjir, segala macam. Untung rumahku kutinggikan. Sampah-sampah tak pernah ada di halamanku.

Betapa enaknya jadi virus. Dengan kekerasan fisik ia tak terkalahkan, dan tak terjangkau dengan usaha kekerasan seperti apapun. Ketika aku turun dari mobil, sepatuku jadi sarang mereka segera. Menumpang sampai ke kamar kecil, tempat sepatuku kemudian basah dan kubasuh. Seseorang yang lain masuk setelah aku, dan melihat basah-basah di lantai. Kupikir ia pasti akan berpikir bahwa aku jorok, membasahi lantai seperti itu. Keesokan harinya ia demam, merasa kena gejala flu. Dokter datang, memeriksa, dan menyuruhnya istirahat di rumah. Seminggu kemudian mati. Dan kamar kecil itu sekarang sudah kering.

Darmi turun ke kali, menyingkap kainnya dan mandi. Temannya ingin buang air besar, air besarnya yang sangat padat kemudian jatuh ke kali. Batang-batang kayu tempatnya berpijak basah karena kakinya habis menjarah tanah sawah. Seratus kilometer dari situ Darmo sedang berenang ketika beberapa serpih sebesar setengah sentimeter lewat. Kotoran, pikirnya. Dari atas, kulihat dari jendela pesawat terbang ketika aku harus pergi ke Jogja tiba-tiba : nenek bilang ingin bertemu. Muara kali di bawah sangat coklat ketika airnya memancar ke laut, bergradasi ke biru tua. Untung aku tak harus tinggal di situ.

Sel yang besar ini, sel yang besar ini.

Sel yang besar ini, sel yang besar ini.

Aku tak pernah dan tak akan sadar akan sel yang besar ini.

Tempatku duduk sekarang adalah sarang mikroba-mikroba, seperti sarang atom-atom dalam kalsium di sel-sel badanku. Rumah tempatku berada sekarang ini adalah tempat mukim manusia, seperti sarang semut-semut pekerja lengkap dengan tiap butir gula yang mereka bawa. Kota tempatku lahir adalah sebuah sarang kriminalitas, seperti dunia yang jadi wadah kegiatan mesum manusia tiap hari. Bumi yang hijau terlihat dari bulan ini adalah tempat kesunyian abadi yang tak terdengar dari bintang terdekat. Ada sesuatu yang besar setelahnya, sesuatu yang besar tanpa akhir yang ditugasi mengakhiri. Penugasnya adalah yang selalu lebih besar, dan selalu juga lebih kecil, daripada apapun. Oleh karena itulah Ia mulia.

Ya, sel yang besar ini, sel yang besar ini.

Sel yang besar ini, sel yang besar ini.

Kita tak pernah dan tak akan sadar akan sel yang besar ini.


25 Februari 1994

~klei.

go out
first disk of klei is a collection of very old writings, all signed "klei," with a last name I won't ever reveal.

all others © ~klei. icons © Apple Computer