contents
Melia


Melia, Melia, Melia, Melia. Melia.

Betapa aku mencintainya dalam hatiku, jauh di dalam lubuk hatiku. Seorang perempuan sederhana yang hidup dengan segala ambisinya yang begitu menggairahkan, air muka yang penuh rasa ingin tahu tiap kali berhadapan dengan manusia dan segala makhluk lainnya, Melia. Melia, Melia.

Dia kukenal pertama kali dari caranya berbicara, alisnya yang tipis dan selalu naik turun mengikut sepasang bibirnya yang mungil menyampaikan kata-kata lincah yang biasanya sangat berarti bagiku. Sangat dalam. Melia, Melia, yang cerdas. Aku cinta padanya sejak pertama kali mulai kutahu ketajaman pemikirannya tentang segala sesuatu di dunia ini.

Aku cinta padanya, dan tak sedangkal yang kalian kira. Melia tidak cantik seperti bidadari. Tidak rapuh sama sekali seperti peri. Dia kokoh seperti karang, dan manis seperti lautan. Tiap kali aku lewat di depannya, gemuruh di dadaku seperti bumi bergolak. Dia begitu mulia, begitu penuh dengan pergerakan, di mana dia ada, angin ribut ada di belakangnya. Dia suka perubahan. Dia tak bisa kuterka. Dia tak pernah cemberut, selalu menebarkan rasa dan tawa ke sekelilingnya tiap kali dia mulai bergaul. Dia begitu berantakan, penuh pikiran. Melia namanya, dan waktu kutanya apa artinya, dia bilang tak ada, kenapa, karena berdasar nama itu, aku tak mau terikat pada suatu arti tertentu yang bakal menghalangiku maju, katanya. Dia banyak membaca dan menulis, mendengar dan mendengarkan, seolah-olah otaknya punya perlebaran ke kiri dan ke kanan ke atas dan ke bawah, tiap kali dia berbicara tiap orang jadi sahabatnya. Cita-citanya sangat tinggi seperti ingin terbang, dan tak ada keberatan baginya bila itu tak tercapai, karena aku bagaimanapun akan punya anak dan anakku akan punya cita-cita yang lebih, katanya, aku juga ingin jadi penikmat budaya manusia, katanya.

Aku sayang dia, aku cinta dia, aku ingin miliki dia, dan aku miliki dia. Hanya dalam hati. Hanya dalam hati.

Karena dia, Melia, sudah punya lelaki lain untuk disayangnya dan dicintainya sedemikian dalam, dan yang kukira -- sebaiknya benar, karena kalau tidak benar akan kugampar -- juga mencintai dan menyayanginya sedemikian dalam. Lelaki itu juga lalu membuatku kagum karena ia bisa begitu pandainya mengimbangi pembawaan Melia yang sangat tak bisa teratur. Ia atur Melia, ia momong Melia, ia hibur Melia, dan ia dorong Melia setiap saat. Tadinya kukira akan muncul di benakku satu kekecewaan karena kupikir bila Melia melebur dengan lelaki itu, Melia akan jadi lebih tenang, lebih seperti orang-orang biasa, menghilanglah sifat-sifat istimewanya, tapi ternyata tidak. Angin ribut masih tetap ada di belakangnya tiap kali dia berjalan, namun angin ribut itu bahkan terdengar lebih bijak lagi. Dan aku tetap sayang padanya. Melia, Melia, betapa Tuhan adalah Mahapencipta, puji syukur kepadaNya telah menciptakan makhluk seperti perempuan ini, yang begitu sempurna tak kasat mata.

Dan Melia berjalan terus, bersama lelaki itu. Sangatlah indah dan mengharukan kisah mereka berdua, seperti yang kulihat demikian jelas terpancar dari mata Melia tiap kali dia mulai memandangku dengan sinar penuh semangat hidup itu. Saat mereka berdua, sentuhan-sentuhan kecil tak pernah lepas dari keseluruhan adegan. Tangan di kepala, di pinggangnya dengan manja, tangan bertemu tangan dan jari bertemu jari, badan berdekatan, kubayangkan bila aku mendapat kesempatan sekali saja untuk berada sedekat itu dengan Melia, dan aku merasa sangat bahagia, cukup dengan angan-anganku itu. Tidak, aku tidak berniat merebutnya dari lingkungan lelaki itu, tidak sama sekali. Melia terlihat sangat bahagia dan aman dengannya, bagaimana bisa aku merebut kebahagiaan itu, mana bisa ?

Melia pujaanku. Aku tak akan berkeberatan melakukan apapun untuknya. Berbicara tentang apapun, mengobrol dan berdiskusi tentang apapun. Mengajaknya melihat hal-hal baru dan mendengarkan caranya membahas masalah satu per satu. Melihatnya bekerja keras untuk mendekati cita-citanya yang sangat tinggi yang seperti akan terbang itu. Mendengarkan ocehannya yang seperti sastrawan dan ikut berpikir tentang manusia dan keberadaannya. Memandangi bibir mungilnya yang merah muda ket
ika kata-kata indah dan puitis keluar dari sana. Menatap matanya yang membesar tiap kali berbicara dan alis tipisnya yang naik turun. Menikmati gerak dagunya yang sangat ekspresif. Menyentuh bahunya yang kecil dan keras. Membiarkan dia berjalan di depanku, membiarkan keseluruhan badannya berangsur jadi indah ketika mulai bergerak dengan cepat. Membiarkan tangannya melambai di samping badannya. Membiarkan tangannya melambai, melambai, berbalik menghadapi aku, membiarkan tangannya mulai melingkari tengkukku, membiarkan kehangatan itu hadir,

Memilikinya, memeluknya, menciumnya.

Lama. Dan kuharap akan jadi milikku selamanya. Betapa senangnya bila terjadi nyata. Kalau saja lelaki itu tak ada. Lelaki itu. Tidak, tentu saja tidak, aku tidak berniat menyingkirkannya, tapi, lelaki itu, lelaki itu.

Lelaki itu pasti pernah menciumnya. Lelaki itu pasti pernah menciumnya, pasti. Tak masalah bagiku, hanya saja, bayangkan, lelaki itu pernah mencium Melia. Aku sebenarnya tak bisa terima. Aku tak bisa terima. Melia, Melia. Jangan biarkan lelaki itu menciummu, ya, Melia, Melia. Melia, Melia. Melia !

Ya, ada apa ?
Lelaki itu pernah menciummu, bukan ?
Melia hanya menatapku heran.
Pernah atau tidak ?
Senyumnya mulai mengembang, aku jadi malu karena ia pasti berpikir aku mulai tak rasional.
Bukan seperti yang kau mulai pikirkan, Melia, aku hanya ingin tahu.
Gigi-giginya yang tak sederet itu mulai terlihat. Ia mulai tertawa tanpa bunyi. Jadi malu. Aku tak pernah berlaku seperti ini sebelumnya di depan dia. Tak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kontrol diriku sudah jauh di awang-awang dan kugapai-gapai lagi, berharap supaya jangan sampai hilang. Aku mulai menundukkan kepala dan menyembunyikan mataku dari tatapannya.
Dia lelakiku, kamu tahu.
Aku mengangguk. Aku tahu. Semua orang lain juga tahu.
Tapi semua orang lain tak pernah ingin tahu apakah dia pernah menciumku atau tidak.
Aku tak bisa menjawab. Mengapa aku ingin tahu ? Sedemikian bodohkah aku sampai-sampai tak bisa kuketahui jawabannya ? Apakah aku mengharapkan jawaban yang bisa menyenangkan aku sedangkan aku tahu bahwa jawaban seperti itu tak akan ada ?

Melia berkata bahwa ia tak akan menjawab pertanyaan seperti itu. Tak ada gunanya. Tak ada gunanya memang, pikirku juga, dan itu kukatakan padanya, untuk memperlihatkan bahwa aku tidak bodoh, memperlihatkan bahwa dalam kejadian seperti inipun aku masih bisa berpikir rasional. Ya ampun, jangan biarkan dia mulai berpikir aku bodoh, tolonglah, karena kalau ia sudah mulai berpikir begitu, kesempatanku untuk bergaul dengannya akan sirna, pikirku. Dan aku tetap berdiri diam di situ, kami tetap diam di tempat masing-masing. Aku merasa ragu apakah aku seharusnya langsung pergi dari situ atau tidak, ataukah aku seharusnya berusaha membelokkan pembicaraan untuk menjaga kelangsungan pembicaraan-pembicaraan yang kuharap dapat akan terus kulakukan pada masa-masa mendatang. Aku masih diam, dan pikiranku melayang-layang di sekitar kepalaku, sampai tiba-tiba sesuatu, mungkin malaikat, menyadarkan aku dan kutangkap suasana yang lain dari biasanya sedang terjadi di antara kami berdua : Melia diam, dia menungguku mengucapkan sesuatu. Hal yang jarang terjadi, jarang sekali, kukira ini malah yang pertama kalinya. Dan aku, seorang tolol yang kebetulan mengalami hal yang jarang ini, tetap pada pendirianku untuk menjadi seorang yang sangat tolol di hadapannya. Aku tak bisa, aku tak mampu. Melia, tolonglah aku bicara, tolonglah.

Tapi Melia tetap diam. Mulutku kaku sekali, rasanya tiap butir ludahku berubah jadi lem, amat sangat kuat melekatkan segala kata-kata yang ingin keluar pada langit-langit mulutku. Dasar tolol. Keringatku mulai membasahi telapak tangan. Tolonglah, Melia, tolonglah. Sampai kapan aku harus begini ?

Di luar dugaanku, ternyata Melia menjawab sampai kapan : ia maju selangkah. Tindakannya itu membuatku terpesona. Segala yang kubayangkan dalam anganku kini maju selangkah mendekat kepadaku, dan aku hanya tinggal maju selangkah juga, kami akan bertemu. Sekarang, atau tak akan pernah sama sekali. Sekarang juga, tolol, putuskan, apakah mau tetap jadi orang tolol selamanya, atau terselamatkan saat ini juga. Persetan lelaki itu, betapa beraninya dia mencium Meliaku. Aku merasa marahku hampir meluap lewat relung-relung mataku dan merasa kepalaku panas, amat sangat panas. Tak bisa lagi memikirkan yang lain selain bahwa kalau aku maju selangkah, kami akan bertemu. Dan aku memutuskan untuk maju selangkah, dan kami bertemu. Hangat di mana-mana, bunga di mana-mana. Dan kubiarkan segenap kekuatanku mengalir ke tanganku yang mulai melingkari pinggangnya, punggungnya, segalanya. Dan kucium dia. Lama. Lama, lama, lama, lama sekali. Nyata sekali.

Wangi. Kuhirup udara sebanyak-banyaknya, dan berpikir tak akan menghembuskannya keluar lagi. Kudekap sepenuh hati, sekuat tenaga, dan tak akan kulepaskan.

Melia.

***

Ketika aku masih kecil, anak-anak perempuan adalah makhluk yang aneh bagiku. Mereka suka boneka, yang mereka beri nama. Cara mereka berjalan selalu sangat teratur, baju mereka selalu bersih, dan orang-orang dewasa selalu mencubit pipi mereka. Tak dapat kutahan keingintahuanku sampai suatu saat dengan penuh semangat dan tawa yang bebas kulempar segenggam lumpur ke pangkuan salah satu di antara mereka. Anak perempuan itu berteriak marah, namun hanya sekali, kemudian ia menangis. Aku menyesal. Aku tak tahu, aku tak bermaksud membuatnya menangis. Aku sendiri akan sangat senang kalau ada yang melempariku dengan lumpur. Lihatlah, kataku sembari memandikan diriku dalam lumpur. Enak, kok. Tapi ia tetap menangis, dan aku kembali merasa sangat tolol.

***

Melia.

Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa, Melia.

Waktu beku. Melia beku. Tanganku beku. Wangi itu mulai hilang, udara mulai terhembuskan.

Dekapanku mulai kulepaskan, dan kutatap matanya. Ia balik menatapku lekat-lekat. Aku tak tahu pasti apa yang kulihat di situ, semangat hidup yang biasanyakah ? Tidak. Tatapan itu kosong, dan ini membuatku sangat cemas. Kutanyakan apakah dia baik-baik saja, dan dia mengangguk. Lalu mundur satu langkah. Aku juga, sehingga kami berada pada tempat sebelum semuanya terjadi. Aku tak tahu apa yang harus kurasakan, dan rasanya bebal sekali kulit mukaku, sehingga aku merasa akan berevolusi jadi seekor hewan seperti badak. Di bibirku masih terasa wangi itu, dan aku tak tahu apakah seharusnya aku menyesal atau tidak. Betapa akan bersyukurnya aku bila ada kesempatan untuk bisa mundur sekali lagi, tidak hanya untuk kembali berada pada tempat sebelum semuanya terjadi, melainkan juga pada waktu sebelum semuanya terjadi.

Waktu masih membeku beberapa saat setelah itu, sampai tiba-tiba Melia tersenyum kecut dengan bibirnya yang merah muda dan mungil itu, dan berkata terimakasih banyak. Ia membalikkan badannya, dan pergi meninggalkan aku. Ia kupanggil beberapa kali, tapi ia hanya menoleh sekali, tetap dengan senyum yang sama seperti tadi. Hatiku hancur, begini rupanya rasanya. Kuucapkan permohonanku untuk bertemu lagi dengannya, yang rasanya terlalu lirih untuk dapat terdengar, dan dalam hatiku aku yakin ia tak akan mau. Rasanya ingin berlutut di tanah, dan mandi lumpur untuk menunjukkan bahwa aku tidak apa-apa. Rasanya sesuatu telah menjadi bubur di dalam jiwaku, dan tak dapat diubah kembali. Kenapa aku begitu tolol ?

Aku sayang dia, aku cinta dia, aku ingin miliki dia, dan aku miliki dia. Hanya dalam hati. Tapi rasanya sekarang tidak lagi. Tidak tahu kenapa. Ya, mungkin sebenarnya aku hanya ingin menciumnya saja, dan tepat itulah yang barusan kulakukan. Ya, rupanya cuma itu yang menggelisahkanku selama ini.

Aku mulai menghibur diriku dengan mengingat ucapan terimakasihnya yang -- mungkin saja -- terakhir kali. Kurasa, ya kurasa, lelaki itu tak pernah menciumnya, sehingga akulah lelaki pertama yang menciumnya. Suatu kehormatan bagiku, meskipun aku melakukannya dengan ketololan yang amat sangat. Memang tolol. Dan memalukan. Itulah sebabnya aku merasa tidak lagi punya cinta bagi Melia, karena maluku begitu besar dan tiap kali akan kulihat sosoknya aku harus menutupi keberadaanku.

Aku mulai membalikkan badanku, persetan, pikirku. Persetan dengan segala ketololanku, aku memang tolol. Dan aku tak akan bisa menyelamatkan mukaku untuk dapat berhadapan dan melakukan pembicaraan lagi dengan makhluk perempuan yang sangat sakti itu. Biarlah, biarlah dia hilang dari pikiranku, pikirku. Agak ragu, tapi kuyakinkan. Selamat tinggal, Melia.

Aku cuma pernah ingin menciummu, itu saja. Dan itu sudah kulakukan, baru saja kulakukan. Memang cuma itu, bukan ? Ya, yakinlah, hanya itu.

Tapi Melia, Melia, luar biasa kamu, Melia. Kamu tetap luar biasa, Melia.



Bandung, 1 April 1994.

~klei.

go out
first disk of klei is a collection of very old writings, all signed "klei," with a last name I won't ever reveal.

all others © ~klei. icons © Apple Computer